Abu `Athaa Sa'id yang terkenal dengan julukan Si Gila Sa'dun adalah
termasuk salah seorang 'Uqalaa-ul Majaaniin, orang-orang gila yang
berpikiran waras. Suatu hari Malik bin Dinar, seorang alim sufi,
menjumpainya sedang duduk termenung di perkuburan Basrah. ''Apa kabar,
Sa'dun?'' tegur Malik, ''bagaimana keadaanmu?''
''O, Malik,'' jawab Sa'dun, ''bagaimana pula keadaan orang yang sehari-
hari, pagi dan petang, menanti keberangkatan untuk pergi jauh menuju
Tuhannya yang Maha Adil tanpa persiapan dan bekal yang cukup?'' Dan
Sa'dun pun menangis sejadi-jadinya. ''Sa'dun, apa yang membuatmu
menangis begitu?'' tanya Malik.
''Aku bukan menangisi dunia,'' jawab Sa'dun, ''bukan pula karena takut
mati. Tapi aku menangisi hari-hari umurku yang berlalu begitu saja
tanpa kuisi amal-amal yang baik. Aku menangis mengingat jauh dan
gawatnya perjalanan, sementara bekalku cuma sedikit sekali. Aku pun
tak tahu akan kemanakah aku kemudian: ke sorgakah atau ke neraka?''
Orang-orang menganggap Sa'dun gila. Dan ini bisa dimengerti, karena
gila memang mempunyai banyak pengertian. Gila bisa berarti 'sakit
ingatan' (kurang beres ingatannya); tapi juga bisa berarti 'tidak
biasa, tidak sebagaimana mestinya, berbuat yang bukan-bukan' (tidak
masuk akal). Tanpa perlu menanyakan kepada ahli jiwa apakah Sa'dun
sakit ingatan, rupanya orang hanya melihat perilaku Sa'dun yang tidak
biasa, tidak sebagaimana mestinya, dan suka berbuat yang bukan-bukan,
maka mereka pun menganggapnya gila.
Apabila yang menjadi ukuran kegilaan adalah ketidakbiasaan, maka di
dunia di mana masyarakatnya semua konyol, orang yang tidak konyol pun
bisa disebut gila. Di dalam masyarakat di mana ketidakjujuran sudah
menjadi biasa, maka orang jujur pun bisa dianggap gila. Di masyarakat
di mana takut merupakan ciri umumnya, maka seorang yang berani pun
terbilang gila. Demikian seterusnya.
Seperti juga kisah Sa'dun di atas membuktikan 'kegilaan'nya. Bagaimana
tidak? Umumnya orang tidak memikirkan, atau tidak terlalu memikirkan
-- apalagi sampai menangis -- 'masa depan' yang sesungguhnya, yang
menentukan kebahagiaan atau kesengsaraan hakiki yang abadi: di
akhirat. Kalaupun memikirkan, tidak sampai sejauh memikirkan 'masa
depan' yang dekat: di dunia ini. Ini bisa dilihat dari persiapan
mereka dalam kehidupan mereka sehari-hari: perbandingan yang jomplang
antara penyiapan bekal perjalanan dekat dan jauh mereka. Begitulah,
ketika umumnya orang hanya mengartikan firman Allah ''Waltandhur
nafsun maa qaddamat lighadd!'' sebagai pesan untuk memikirkan masa
depan di dunia, Sa'dun justru menghayati firman itu sebagai pesan
untuk memikirkan masa depan yang sebenarnya: kehidupan akhirat.
Apabila Sa'dun masih hidup sekarang ini, boleh jadi kita pun akan
menyebutnya Si Gila atau malahan menganggapnya sudah keterlaluan
gilanya. Wallahu A'lam